Hari Kartini

Hari Kartini, lo pasti juga pernah, kan? Dulu waktu sekolah, setiap 21 April selalu ada upacara khusus. Anak perempuan disuruh pakai kebaya, cowok biasanya batik, dan ada lomba baca puisi atau fashion show kecil-kecilan.

Jujur aja, waktu itu gue mikir Hari Kartini cuma tradisi tahunan yang sekadar formalitas. Gue gak benar-benar ngerti kenapa harus ada hari ini. Gue juga gak tahu kenapa tokoh ini begitu diagungkan.

Yang gue tahu cuma: “Beliau pahlawan perempuan.” Titik.

Tapi ternyata, Hari Kartini jauh lebih besar dari sekadar hari peringatan. Gue baru ngerti itu waktu gue udah dewasa, dan ngelewatin momen pribadi yang bikin gue diam lama dan mikir:

“Ini nih… yang Kartini perjuangkan dulu.”

Awalnya Gue Cuma Inget Hari Kartini Karena Disuruh Pakai Batik

Hari Kartini

Momen Tersadar: Ketika Ibu Gue Harus Jadi Tulang Punggung Sendirian

Waktu bokap gue sakit keras dan gak bisa kerja selama berbulan-bulan, ibu gue yang ambil alih semua. Dia kerja serabutan, dari jualan kue, jadi reseller baju online, sampai bantuin tetangga jadi tukang masak dadakan buat acara hajatan.

Gue inget banget, dia tidur cuma 3–4 jam sehari. Tapi besok paginya tetap senyum, nganterin gue ke sekolah, dan pura-pura bilang semua baik-baik aja.

Di situlah gue mulai sadar:

“Ibu gue ini Kartini. Versi rumah tangga.”

Dia gak bikin manifesto, gak nulis surat ke Belanda, tapi dia menjaga martabat keluarga dalam diam.

Gue Sadar: Kartini Gak Cuma Satu Orang—Dia Ada di Mana-Mana

Sejak saat itu, gue mulai lebih peka. Ternyata di sekitar gue banyak banget sosok ‘Kartini modern’:

  • Teman gue yang kerja kantoran sambil jadi single mom

  • Kakak kelas gue yang buka komunitas baca gratis buat anak-anak di kampung

  • Tante gue yang dulu korban KDRT tapi bangkit dan sekarang jadi pengajar perempuan korban kekerasan

  • Istri temen gue yang jadi programmer dan lebih jago dari suaminya

Mereka semua mungkin gak viral, gak pernah masuk TV, tapi mereka adalah penggerak perubahan dari balik layar.

Dan mereka gak nunggu diakui dulu. Mereka jalan terus.

Kesalahan Gue Dulu: Ngira Kesetaraan Gender Udah Gak Relevan

Hari Kartini

Gue sempat punya pikiran yang toxic (dan sekarang gue malu banget inget ini):

“Ngapain sih masih ribut soal kesetaraan perempuan? Kan sekarang semua udah boleh sekolah dan kerja.”

Tapi ternyata kenyataannya gak semudah itu.

  • Gaji perempuan rata-rata masih lebih rendah dari laki-laki di posisi yang sama

  • Banyak perempuan yang mundur dari karier karena tekanan sosial

  • Stereotip perempuan harus bisa masak, harus menikah cepat, harus “tunduk” masih sangat kuat

Bahkan di lingkungan profesional, gue pernah lihat rekan perempuan di-interupsi terus di rapat. Pendapatnya baru dianggap penting kalau dikonfirmasi sama laki-laki. Gila gak sih?

Dan gue makin sadar bahwa kesetaraan itu bukan tujuan akhir. Tapi proses yang butuh disuarakan terus, dikutip dari laman resmi Detikcom.

Hari Kartini: Bukan Buat Nostalgia, Tapi Momentum Evaluasi

Sekarang setiap 21 April, gue gak lagi cuma upload ucapan klise “Selamat Hari Kartini” atau repost gambar kutipan.

Gue mulai:

  • Nulis refleksi kecil tentang perempuan yang gue kagumi

  • Edukasi follower soal perempuan inspiratif di luar tokoh mainstream

  • Donasi ke organisasi yang bantu pemberdayaan ibu tunggal dan korban kekerasan

  • Ngajak diskusi soal peran ayah dalam mendukung kesetaraan—karena perubahan gak bisa ditumpukan ke perempuan doang

Hari Kartini buat gue sekarang adalah alarm tahunan: “Lo udah ngelakuin apa buat bantu menciptakan dunia yang lebih adil buat perempuan?”

Tips Nyata Buat Lo yang Pengen Merayakan Hari Kartini Secara Tulus (Gak Cuma Simbolik)

Hari Kartini

  1. Dukung UMKM perempuan. Banyak ibu rumah tangga jualan online yang butuh promosi organik.

  2. Jadi pendengar yang aktif. Kadang teman perempuan lo gak butuh solusi, tapi butuh validasi dan empati.

  3. Kritisi candaan seksis. Bukan soal baper, tapi soal mendidik lingkungan buat lebih sadar.

  4. Belajar ulang sejarah Kartini. Baca surat-suratnya, dan lo bakal ngerti dia bukan hanya “ibu feminisme,” tapi juga pemikir besar.

  5. Ajari anak laki-laki soal emosi dan kerja rumah. Karena kesetaraan bukan dimulai dari perempuan, tapi dari bagaimana kita membesarkan laki-laki juga.

Kata Akhir: Kita Semua Bisa Jadi Kartini—Dengan Cara Kita Sendiri

Gue gak pernah ketemu langsung Kartini. Tapi gue yakin kalau dia masih hidup sekarang, dia bakal tersenyum ngeliat banyak perempuan yang berdiri tegak di ruang publik.

Dan mungkin dia juga bakal sedih, karena perjuangannya belum selesai.

Kartini bukan sekadar sejarah. Dia adalah api kecil yang harus terus kita jaga, supaya dunia ini gak kembali gelap.

Kalau lo baca ini dan inget seseorang—ibu, kakak, guru, sahabat, pacar—yang pernah jadi cahaya buat lo, luangkan waktu sebentar buat bilang “terima kasih.” Itu lebih bermakna dari 100 caption Instagram.

Baca Juga Artikel dari: Peluang Kerja Remote: Pengalaman Gue Pindah Kerja Kantoran

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: History

Author