Bandar Lampung Banjir

Bandar Lampung Banjir, aku nggak bakal lupa malam itu. Hujan mulai turun dari sore, gerimis kecil yang lama-lama berubah deras, bahkan brutal. Aku masih sempat ngopi santai di teras rumah, nggak ada firasat apa-apa. Tapi sekitar pukul 9 malam, semua berubah. Air yang awalnya menggenang di selokan depan rumah tiba-tiba meluap.

Bandar Lampung Banjir datang cepat, kayak tamu tak diundang yang maksa masuk. Dalam waktu kurang dari 30 menit, ruang tamu sudah digenangi air setinggi mata kaki. Dan itu baru awalnya.

Aku tinggal di daerah Way Halim, Bandar Lampung — yang katanya bukan daerah rawan Bandar Lampung Banjir. Tapi malam itu, langit seolah ingin membuktikan bahwa siapa pun bisa kena, kapan pun, di mana pun.

Malam Itu, Langit Tidak Ramah

Bandar Lampung Banjir

Panik, Bingung, dan Lemah

Jujur ya, aku panik banget. Nggak tahu harus ngapain. Bayangkan, air terus naik sementara aku baru sadar semua perabot masih di lantai. Aku sendirian malam itu, istri lagi di rumah orang tuanya. Jadi ya, cuma bisa andelin diri sendiri.

Listrik langsung padam sekitar jam 10. Jadi gelap, dingin, dan… menyeramkan. Di luar, suara air menderu-deru. Ada suara motor mogok, anak kecil nangis, dan orang-orang teriak-teriak nyari bantuan. Suasananya kayak film horor, tapi ini nyata.

Aku coba angkat kulkas, tapi malah nyaris jatuh kena kaki. Sempat nyesel juga, kenapa nggak siapin sandbag atau naikkin barang pas sore tadi. Tapi ya gimana, siapa sangka bakal separah ini?

Warga Mulai Turun Tangan

Yang bikin aku sedikit tenang adalah suara ketukan dari luar. Ternyata tetangga datang bawa senter dan ngasih tahu air udah masuk sampai jalan utama. Kami akhirnya saling bantu: mindahin barang, nganterin anak kecil ke tempat aman, bahkan narik motor warga yang kejebak di jalan.

Di saat seperti itu, aku ngerasa banget arti solidaritas. Orang-orang yang sehari-hari cuma saling sapa “pagi” tiba-tiba jadi keluarga. Ada yang bawa kopi, ada yang ngasih mie instan, ada juga yang nyumbang power bank buat yang butuh info dari HP.

Itu momen di mana aku sadar, bahkan di tengah musibah, manusia bisa luar biasa baik.

Refleksi di Tengah Genangan

Bandar Lampung Banjir

Air akhirnya berhenti naik sekitar jam 2 pagi. Tapi itu bukan akhir. Justru mulai terasa perihnya di pagi hari, ketika matahari mulai nongol dan kita semua bisa lihat kerusakan sebenarnya.

Sofa? Basah semua. Buku-buku? Hancur. Karpet? Udah jadi sarang lumpur. Dan baunya… ampun deh.

Tapi lebih dari sekadar kerugian fisik, aku ngerasa ada pelajaran yang jauh lebih dalam. Aku mulai mikir: kenapa kota ini bisa Bandar Lampung Banjir separah ini? Padahal katanya udah ada proyek drainase baru. Katanya udah ada early warning system.

Ternyata masalahnya nggak sesimpel itu. Beberapa teman dari komunitas lingkungan bilang, pembangunan di area resapan udah kebangetan. Jalan beton di mana-mana, hutan kota menyusut. Sampah plastik juga makin parah.

Dan, jujur aja, aku juga pernah buang sampah sembarangan. Satu bungkus permen doang sih waktu itu, tapi sekarang aku sadar: semua itu nambah beban sistem drainase kota. Kita semua ikut andil.

Trauma yang Tidak Terlihat

Beberapa hari setelah Bandar Lampung Banjir, fisik mulai pulih. Rumah dibersihin, barang diganti, aktivitas normal lagi. Tapi trauma? Nggak segampang itu hilang.

Setiap hujan deras datang, jantungku langsung deg-degan. Tangan gemetar, pikiran langsung melayang ke malam itu. Aku sampai konsultasi ke psikolog online, karena nggak mau perasaan ini numpuk terus.

Kata beliau, itu gejala PTSD ringan — dan normal dialami korban bencana. Aku juga diminta journaling, nyatet setiap emosi yang datang biar bisa diproses perlahan.

Ternyata, hal sesederhana curhat di buku harian bisa bantu banget. Bahkan dari situlah aku mulai rajin nulis blog. Mungkin ini bentuk katarsis juga, ya?

Tips Bertahan Saat Banjir (Dari Pengalaman Sendiri)

Bandar Lampung Banjir

Dari pengalaman pahit itu, aku pengen bagi beberapa tips buat siapa pun yang tinggal di daerah rawan banjir. Nggak harus nunggu jadi korban dulu baru nyadar:

  1. Selalu pantau prakiraan cuaca. Jangan anggap remeh hujan yang “kelihatan kecil.”

  2. Siapkan tas darurat: isinya dokumen penting, charger, baju ganti, dan makanan ringan.

  3. Jangan taruh barang elektronik di lantai. Serius, ini bisa fatal.

  4. Buat grup WhatsApp warga. Komunikasi cepat itu nyelametin banyak orang waktu itu.

  5. Investasi di rak gantung atau kontainer plastik tinggi. Mahal sedikit, tapi worth it.

Yang terpenting: jangan pernah ngerasa “aman-aman aja.” Karena seperti aku bilang tadi, Bandar Lampung Banjir nggak kenal zona. Bisa datang kapan aja, dikutip dari laman resmi Tempo.

Kenapa Kita Harus Peduli Lingkungan (Sekarang, Bukan Nanti)

Dari kejadian ini juga, aku jadi lebih peduli soal lingkungan. Aku ikut komunitas pemuda yang fokus bersihin sungai di Kota Bandar Lampung Banjir. Kami rutin bersihin aliran sungai dari sampah plastik, dan kampanye kecil-kecilan soal pemilahan sampah di rumah.

Aku nggak bilang aku pahlawan. Tapi kalau tiap orang ngambil tanggung jawab kecil, dampaknya bisa gede. Kita butuh budaya kolektif baru: budaya peduli.

Kadang, perubahan nggak bisa datang dari atas. Pemerintah punya peran, ya. Tapi kalau kita sendiri cuek, ya sama aja bohong.

Bandar Lampung Banjir Dari Air Bah Menuju Kesadaran Baru

Bandar Lampung Banjir malam itu ngasih aku lebih dari sekadar trauma. Ia memberi perspektif baru — tentang kerapuhan hidup, kekuatan solidaritas, dan pentingnya kepedulian lingkungan.

Aku tahu ini baru langkah kecil. Tapi aku juga percaya, cerita ini bisa jadi peringatan buat yang lain. Jangan tunggu kena dulu baru peduli.

Semoga nggak ada lagi malam-malam seperti itu. Tapi kalaupun datang lagi, setidaknya aku — dan semoga kamu juga — lebih siap, lebih kuat, dan lebih peduli.

Baca Juga Artikel dari: Hari Kartini dan Refleksi Gue Tentang Perempuan Hebat

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Information

Author