Hasbi Hasan

Hasbi Hasan, saya diajarkan bahwa Mahkamah Agung itu suci. Tempat orang mencari keadilan paling tinggi. Kalau pengadilan negeri atau pengadilan tinggi masih bisa keliru, maka MA-lah benteng terakhir. Tapi waktu saya membaca berita soal Hasbi Hasan, jujur saya tertegun.

Ini bukan cuma pejabat biasa, tapi mantan Sekretaris Mahkamah Agung. Jabatan elite yang seharusnya jadi simbol integritas hukum di negeri ini. Ternyata, uang 11 miliar bisa membungkam nilai-nilai itu. Dan di titik ini, saya mulai merenung—apakah benar sistem kita sekuat yang selama ini kita percayai?

Awalnya Saya Percaya, Lembaga Tinggi Itu Tahan Godaan

Hasbi Hasan

Ngerasa Tertampar: Kalau Elitnya Korup, Apa Kabar yang Lain?

Saya bukan orang hukum. Saya rakyat biasa. Tapi kayaknya semua orang, dari warung kopi sampai ruang kerja, sempat ngebahas berita ini.

Hasbi Hasan divonis 6 tahun penjara karena terbukti menerima suap untuk ngurus perkara kasasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana. Uangnya? Gede. Rp11,2 miliar ditambah gratifikasi wisata dan fasilitas mewah Rp630 juta.

Dan saya mikir, kalau di MA aja udah ada jual beli perkara, gimana nasib orang kecil yang nyari keadilan?

Saya teringat kisah seorang teman saya—perkara warisan keluarganya mandek bertahun-tahun di pengadilan. Sering banget dia curhat kalau kayaknya yang bisa menang cuma yang punya “akses”. Waktu itu saya masih optimis. Tapi setelah kasus Hasbi Hasan ini, saya mulai melihat sisi gelapnya sistem.

Korupsi Itu Bukan Sekadar Uang, Tapi Luka Kolektif Bangsa

Saya sadar betul: korupsi di tubuh Mahkamah Agung itu jauh lebih berbahaya dari sekadar uang yang ditilep. Ini soal kepercayaan publik yang dirusak, soal nilai hukum yang dihancurkan dari dalam.

Yang paling miris? Putusan kasasi itu final dan mengikat. Jadi, kalau sampai itu bisa dibeli… ya semua perjuangan hukum bisa ambyar cuma karena transfer rekening. Saya nggak bisa bayangin berapa banyak perkara yang mungkin udah “dibisikin” sebelumnya.

Dan pas saya baca kalau permohonan kasasi Hasbi Hasan pun akhirnya ditolak oleh MA sendiri, saya senang sih, tapi juga getir. Karena hukum tetap bekerja, tapi hanya setelah kehormatan institusi terlanjur tercoreng.

Saya Mencoba Mengerti: Apa yang Membuat Pejabat Tega Melakukan Ini?

Hasbi Hasan

Saya sempat mikir—apa sih yang dicari Hasbi Hasan? Dia udah punya jabatan tinggi, penghasilan tetap, fasilitas negara. Tapi masih aja tergoda main suap?

Lama-lama saya sadar, korupsi itu bukan cuma soal kebutuhan. Tapi soal kerakusan.

Mungkin bagi mereka yang sudah terbiasa memegang kuasa, rasa “cukup” jadi hilang. Semua terasa layak—selama tidak ketahuan. Dan itu mengerikan. Karena ketika standar moral dipelintir pelan-pelan, manusia bisa meyakini hal yang dulu mereka anggap salah sebagai sesuatu yang “wajar”.

Belajar Jadi Warga: Kita Jangan Apatis

Setelah kasus ini viral, saya mulai lebih rajin baca berita hukum. Saya sadar, sebagai warga biasa, kita sering apatis. “Ah, biarin aja, bukan urusan kita.” Tapi nyatanya, korupsi pejabat itu selalu merembet ke kita.

Bayangin, berapa banyak anggaran yang harusnya dipakai buat pelayanan publik, tapi habis buat “main belakang” para elit?

Dan dari situlah saya mulai punya prinsip baru: kritik itu bukan benci, tapi cinta. Saya mulai berani komentar, tanda tangan petisi, bahkan sesekali ikut diskusi daring tentang reformasi hukum.

Kalau kita semua diam, ya kasus kayak gini akan terus muncul. Tapi kalau kita bersuara, walau kecil, minimal mereka tahu: masyarakat lagi nonton.

Kenapa Kasus Ini Jadi Titik Balik Pandangan Saya tentang “Orang Baik”

Jujur ya, dulu saya pikir kalau orang lulusan hukum, apalagi kerja di Mahkamah Agung, pasti udah ngerti lah soal benar dan salah. Tapi ternyata ilmu dan jabatan itu nggak selalu jadi jaminan etika.

Saya mulai sadar, “orang baik” itu bukan soal gelar, tapi soal kebiasaan menjaga prinsip, bahkan saat nggak ada yang nonton.

Dan dari situ saya juga ngaca. Jangan-jangan saya sendiri juga masih suka kompromi soal integritas. Nggak jujur saat laporan kantor, nutupin kesalahan kecil, atau pura-pura nggak tahu ada penyimpangan. Kalau saya marah sama Hasbi Hasan, tapi saya sendiri belum beres, ya munafik juga.

Saya Belajar: Moral Itu Harus Dilatih, Bukan Diajarkan Sekali

Hasbi Hasan

Saya sadar banget sekarang bahwa integritas itu bukan bawaan lahir. Tapi hasil latihan panjang. Dan itu dimulai dari hal-hal kecil: jujur ngelaporin pengeluaran, nolak amplop walau cuma “ucapan terima kasih”, bahkan sampai urusan bayar pajak tepat waktu.

Dan untuk pejabat publik? Harusnya mereka diuji moralnya lebih keras. Karena beban mereka bukan cuma tanggung jawab kerja, tapi juga kepercayaan publik.

Kasus Hasbi Hasan ini jadi pelajaran pahit bahwa tanpa sistem pengawasan yang kuat, bahkan orang-orang paling berpendidikan pun bisa menyimpang, dikutip dari laman resmi Tempo.

Harapan Saya: Jangan Biarkan Kasus Ini Dilupakan

Kita ini sering banget punya memori pendek. Hari ini ribut soal kasus A, minggu depan udah heboh soal gosip artis. Tapi saya harap, kasus Hasbi Hasan ini jangan cuma jadi headline sesaat.

Karena kalau kita lupa, sejarah akan terulang. Dan pelakunya mungkin bukan Hasbi lagi, tapi Hasan lain yang punya jabatan baru.

Saya berharap:

  • Mahkamah Agung berani benahi sistem internalnya.

  • KPK terus menelusuri dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Hasbi Hasan yang juga mencuat.

  • Dan publik, kita semua, jangan cuma jadi penonton, tapi juga pengawas aktif.

Penutup: Integritas Itu Tanggung Jawab Kolektif

Dari semua yang saya pelajari, satu hal yang paling membekas: korupsi bukan cuma soal siapa yang tertangkap, tapi siapa yang membiarkan.

Dan saya nggak mau lagi jadi orang yang “membiarkan.” Meski suara saya kecil, saya mau terus bersuara.

Kasus Hasbi Hasan ini bikin saya marah, kecewa, sekaligus termotivasi. Bahwa meskipun sistem kita bisa rapuh, masih ada harapan kalau warganya peduli.

Jangan tunggu jadi pejabat baru peduli soal integritas. Mulai dari diri sendiri. Karena negara ini dibangun dari jutaan keputusan kecil—dan keputusan kita hari ini menentukan arah esok.

Kalau kamu punya opini atau pengalaman tentang sistem hukum di Indonesia, tulis di kolom komentar. Kita belajar bareng, karena keadilan itu bukan milik elit, tapi milik semua rakyat.

Baca Juga Artikel dari: Leo Roman: Mentor Tak Terduga yang Mengubah Cara Pandang

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: News

Author